Saya termasuk pekerja migran
alias pendatang di kota
penghasil tembakau di Jawa Timur alias Kota Jember. Asal dari Surabaya, kalau
dilihat di peta paling-paling cuma sejengkal, tapi kenyataannya sejengkal itu
berjarak 200 km atau 4 jam perjalanan mobil pribadi, 6 jam bis umum, 7 jam
travel, 3 jam 45 menit kereta. Kenapa hapal konversi waktunya karena sudah 8
tahun tinggal disini dan setiap akhir pekan pasti pulang ke Surabaya. Type pekerja PJKA (Pulang Jumat, Kembali Ahad) he he he….
Walaupun termasuk jalur utama di pulau Jawa, jalan raya mulai dari Probolinggo
ke Jember sangat memprihatinkan karena jalannya sempit alias cuma dua lajur
serta ada beberapa bagian yang berlubang maupun bergelombang padahal yang lewat
amit-amit alias truk-truk besar pengangkut barang kebutuhan pokok termasuk
bonus jalan yang menanjak dibeberapa titik sehingga jalur ini terhitung padat. Sehingga
yang normalnya perjalanan 4 jam bisa molor jadi 5 -6 jam, tergantung sikon. Nah
ngomong-ngomong mengenai perjalanan PP Surabaya – Jember ini saya punya pengalaman
yang tidak mengenakkan, bayangkan di jalanan selama 13 jam!
Hari Jumat seperti biasalah di kantor merupakan hari krida alias kerjaan
bisa ditunda ke hari senin he he he tidak menyangka bakal jadi hari sial saya
pulang ke Surabaya. Oleh orang rumah sudah dikasi saran pulang aja naik kereta
jadi sampai di Surabaya jam 5 pagi, tidak saya gubris. Saya pikir perjalanan
bakal lancar seperti biasa dan sampai ke rumah jam 11 malam. Tidak ada firasat
buruk sebelumnya, tibalah jam 5 sore langsung cabut menuju terminal untuk naik
bus. Ehhh sampai diterminal kok dapat bis patas yang bagus dan sudah hampir
penuh alias siap berangkat. Naiklah Saya ke bis itu, tidak berapa lama berangkatlah
bis itu. Selama perjalanan
jalanan padat karena hujan dan banyak truk-truk bersliweran.
Menjelang masuk Kota Probolinggo jam 20.00 wib tiba-tiba perjalanan mulai
tersendat-sendat dan bis mulai mengalihkan jalurnya melalui jalan yang tidak
biasa. Ternyata ada banjir di kota Probolinggo! Saya pikir Cuma pendek saja
karena bis masih bisa menerjang dan berjalan pelan-pelan. Cuma saya heran kok
lewat kota tapi banjirnya tinggi dan jalanan lumayan sepi. Pikiran buruk saya
simpan saja, apalagi ketika masuk terminal pada pukul 21.00 wib suasana ramai
seperti biasa. Nah ketika diterminal itulah saya mulai curiga kenapa bis tidak
segera berangkat apalagi penumpang sudah penuh, apalagi dengar orang ngobrol
jalur probolinggo – pasuruan banjir 1 meter dan berbaia kabar lainnya. Ditambah
teman saya yang naik mobil pribadi yang berangkat sejak jam 4 sore masih berada
di Probolinggo terjebak macet!
Nahh! Pikiran mac gyver saya segera bekerja keras, ada apa yang salah? Apakah
ada plan B pulang ke Surabaya apalagi kalau macet seperti ini bisa-bisa sampai
pagi di jalan. Pikir punya pikir akhirnya dari pada membusuk di bis tidak bisa
kemana-mana saya putuskan turun dari bis dan gambling naik kereta malam ke Surabaya.
Saya pikir kalaupun sama-sama macetnya jalur kereta lebih tinggi dari jalan,
ada ac dan ada kamar mandi dan kantin jadi mau macet sampe besok siang juga
tidak masalah. Akhinya saya putuskan turun dari bis, masalah kedua muncul naik
apa ke stasiun kereta? Karena lokasi stasiun kereta juga masih jauh kl 15 menit
naik sepeda motor. Lah saya naik apa kesana? Apalagi banjir. Tanya punya tanya
akhirnya ada ibu-ibu penjual camilan kasihan sama saya trus manggilin tukang ojek
buat mengantar saya ke stasiun. Tarifnya berapa coba saudara-saudara?? Rp.
30.000,- dan tidak mau di tawar dengan alasan kota banjir. Ya sudahlah akhirnya
saya naik sepeda motor bututnya ke stasiun.
Tapi apa yang terjadi??!! Banjirnya ternyata tinggi dan berarus pula
seperti sungai dan jalan yang akan dilalui tergenang banjir. Salut sama pak
ojek menembus banjir lewat jalan-jalan tikus yang notabene banjir juga setinggi
lutut bahkan sampai merendam mesin, tapi motor bututnya tetap bekerja walaupun
jalan pelan-pelan. Setelah 30 menit berjuang sampailah di jalan besar, tapi
stasiun masih jauh, Ternyata perjuangan belum selesai....didepan mata banjir
lebih besar masih ada, orang-orang sekitar menyarankan motor di tuntun alias
jalan kaki. Benar saja, jalan berubah jadi sungai berarus pada saat melewati
arusnya deras dan disertai pasir. Walhasil perjalanan ke stasiun harusnya cuma 15
menit molor jadi 1.5 Jam. Sampai stasiun alhasil baju dan celana basah kuyup
sekaligus kelaparan karena belum makan malam. Untungnya stasiun Probolinggo
loket tiketnya masih buka padahal sudah jam 11.30 malam sehingga ada tempat
menunggu yang kering, sekaligus tempat ganti baju. Sambil menunggu pintu ke
ruang tunggu di buka jam 1.30 pagi saya mencari makan di luar karena sudah
kelaparan, nahhhh untungnya lagi masih ada penyetan buka. Makan deh disana,
sambil makan saya kontak teman saya yang kabarnya masih terjebak macet, katanya
makin parah banjirnya dan saking macetnya posisinya tidak bergerak sama sekali
sejak jam 9 malam tadi he he he ternyata senasib.
Tunggu punya tunggu akhirnya kereta dari Banyuwangi pun datang jam 03.00
atau telat 30 menit dari jadwal, sedangkan kereta dari Surabaya telat lebih
dari 1.5 jam karena banjir menggenangi rel. Akhirnya bisa naik kereta Mutiara
Timur menuju Surabaya setelah terkatung-katung di jalanan hampir 11 jam. Nah
pada saat kereta mulai jalan saya melihat keluar jendela sepanjang jalan
terlihat kemacetan dan airnya belum surut, dan macetnya itu sampai Pasuruan. Setelah
13 Jam! Iya 13 Jam di jalan akhirnya sampai juga di kota tercinta jam 05.00
dengan badan lemas gara-gara masuk angin he he he he. Dan teman saya yang
terjebak di jalan itu sampai Surabaya baru jam 12.00 siang ! Haaaa!!
Itulah perjalanan paling sial yang pernah saya alami selama perjalanan PP Jember
– Surabaya, tapi terkenang juga kapan lagi bisa menikmati banjirr, naik ojek,
muter-muter, nunggu di stasiun sampai berjam-jam.